Processing...

Mengelola Perbedaan dan Konflik


Diposting oleh | Wed, 28 Aug 2019 13:19:11



Tujuan pernikahan bukanlah kebahagiaan, tapi pertumbuhan. Mereka yang menikah supaya bahagia, hidupnya paling tidak bahagia. Dia akan menuntut dan memanipulasi pasangan untuk membahagiakan dirinya. Kalau ia merasa tidak bahagia maka ia menyalahkan pasangannya. Inilah sumber konflik pernikahan yang jarang disadari, tujuan pernikahan yang salah dan egois.

Tujuan pernikahan adalah pertumbuhan. Janji nikah berisi tujuan pernikahan, sehati sepikir serta setia dalam suka dan duka, sehat atau sakit, cukup atau kurang dan seterusnya. Pertumbuhan dialami karena melewati dua situasi secara seimbang: susah dan senang perkawinan. Supaya pernikahan Anda bertumbuh butuh dua syarat: pertama ada kelenturan atau saling menyesuaikan, dan kedua ada jiwa yang mudah memaafkan.

Apa tujuan Anda menikah?

1. Menikah tanpa tujuan yang jelas. Saat memberi seminar dan konseling di sepuluh kota (Jerman, Swiss, Perancis dan Belanda), sebagian peserta seminar yang saya jumpai menyatakan tidak punya tujuan yang jelas saat menikah. Inilah penyebab utama konflik antara suami dan istri. Ada yang mengaku terlalu cepat jatuh cinta dan langsung mau menikah saat didekati pacar yang baru saja dikenalnya,  karena merasa dikejar usia, ditambah desakan orang tua. Ketergesaan menikah inilah menjadi  sumber malapetaka keluarga yang berujung perpisahan atau konflik yang seolah tanpa ujung. Sementara itu ada yang jujur mengatakan, menikah dengan suaminya hanya karena ingin tinggal di luar negeri. Meski tahu dari awal ada yang aneh dari kepribadian pasangannya,  dia tetap memaksakan diri menikah.

2. Sumber konflik adalah minimnya pengenalan satu sama lain. Sebagian besar keluarga yang saya temui adalah perkawinan campur, antara orang Indonesia dan orang Eropa. Umumnya waktu pacaran mereka sangat singkat dan jarak jauh. Bahkan ada yang hanya tiga bulan, ttupun melalui facebook dan email. Sebagian merasa konflik itu karena berbeda suku bangsa‎. Konflik karena perbedaan suku bangsa adalah hal yang biasa. Hanya menjadi luar biasa karena yang  menikah tidak sungguh mempersiapkan diri dengan baik menjalani perbedaan itu.

3. Minimnya teladan dari pernikahan orang tua. Beberapa orang menceritakan latar belakang, mereka tidak punya contoh pernikahan yang baik dari orang tua. Mereka tumbuh bersama orang tua yang perkawinannya buruk. Bahkan ada yang orang tuanya bercerai saat mereka masih kanak-kanak. Sistem pernikahan orang tua yang sakit dan tidak berfungsi ini ikut menyumbang keretakan relasi dengan pasangan. Sayangnya, saat menikah mereka belum pernah dipulihkan dari masa lalu yang buruk. Mereka belum pernah konseling.

4. Minimnya pengetahuan dan skil menjadi orang tua. Wawasan yang sempit menambah deretan sumber konflik. Di antaranya, konflik lain muncul karena beda nilai dan kebiasaan dalam mendidik anak. Istri berusaha ketat mendisiplin sementara suami minta supaya istrinya lebih longgar. Mereka membawa sistem kebiasaan dari keluarga asal masing-masing, yang mau tidak mau menghasilkan konflik relasi, beda pendapat atau salah paham. Belum lagi konflik ibu dengan anak-anak. Si mama yang besar dengan nilai dan kebiasaan di Indonesia, sementara si anak besar dengan nilai dan edukasi di negaranya. Sangat berbeda.

5. Karena tidak mendapatkan anak. Individualis yang sangat kuat di tempat mereka tinggal, menambah rasa sepi yang semakin menggigit ketika hanya berduaan di rumah. Apalagi saat musim dingin, kegiatan di luar sangat minim. Tekanan emosi semakin hebat saat harapan hadirnya anak tak kunjung datang.

6. Iman yang lugu. Iman tanpa pemahaman firman atau teologi yang benar. Saat ada masalah, hanya mendoakan pasangan, tapi tidak berbuat banyak untuk mengubah diri demi memperbaiki relasi. Selain itu tumpukan emosi karena minimnya skil berkomunikasi dengan pasangan. Juga karena harga diri yang rendah (minder), mereka tidak mampu mengelola kemarahan. Ditambah minimnya teman curhat yang bisa dipercaya serta konselor yang bisa mengerti bahasa dan budaya mereka. Selain biaya mahal, konseling di Eropa dihambat oleh nilai dan budaya yang berbeda.

Mengelola konflik dan perbedaan

Namun yang menarik, beberapa pasang lain yang juga menikah dengan orang Eropa tidak punya masalah berarti. Meski berbeda nilai, kebiasaan dan latar belakang mereka tetap romantis dan harmonis. Keluarga mereka sehat dan berfungsi. Konflik tetap ada tapi bisa dikelola dengan baik. Apa rahasianya?‎

1. Umumnya satu atau kedua dari mereka memiliki iman dan pengetahuan teologi yang baik. Bukan saja lahir baru, tetapi iman mereka bertumbuh karena setia menggali Kitab Suci, serta suka belajar (membaca).

2. Mereka dibesarkan dengan penuh kasih sayang dari orang tua dan minim pengalaman trauma yang buruk. Punya harga diri yang sehat dan pengetahuan yang memadai.

3. Andai pun ada pengalaman buruk di masa kecil mereka sudah pulih jauh sebelum memasuki pernikahan. Mereka umumnya punya sahabat baik tempat berbagi masalah emosi.

4. Umumnya mereka berjiwa lentur dan pemaaf. Tidak ekstrem dalam keyakinan pribadi. Punya toleransi terhadap kepribadian pasangan, mudah mengalah. Tidak merasa diri paling benar.

5. Mereka memiliki tujuan pernikahan yang jelas. Melayani Tuhan bersama pasangan, punya misi bersama membuat mereka rutin berkomunikasi satu sama lain membicarakan misi keluarga.

6. Mereka umumnya memiliki karier yang menyenangkan dan finansial yang baik. Masing-masing menikmati waktu kebersamaan yang dirancang berdua. Ke gereja bersama, belanja bersama dan mengerjakan pekerjaan rumah juga berdua. Selalu ada waktu keintiman saat weekend, hingga mengatur waktu libur setiap tahun. Selalu menyediakan waktu untuk mengenali pasangan.

7. Mereka saling kenal dan menghormati keluarga asal pasangan. Relasi dengan orang tua dan mertua dijaga dengan baik.

8. Mereka saling menghormati dan tahu menghargai pasangan, dan mudah meminta maaf saat bersalah. Jika sifat egois merusak banyak relasi, mereka dengan sadar mengembangkan sikap rela berkorban demi kebaikan pasangan. Tidak memaksa pasangan untuk berubah, tapi diri sendiri. Berkorban demi pasangan.


Semoga catatan ini berguna. Jangan menyerah, jika pernikahan Anda terasa sulit karena banyak konflik. Selalu ada harapan untuk belajar menjadi pasangan yang lebih baik. Hiduplah berdasarkan janji Tuhan, bukan pada situasi atau keadaan.

 

Salam konseling..

Julianto Simanjuntak

Founder LK3, Advisory Board Family First Indonesia

Terverifikasi :
Project ini telah melewati proses verifikasi Family First Indonesia.
Kunjungan Lokasi :
Project Creator telah mengunjungi lokasi dan memiliki orang yang dapat dihubungi di lokasi tersebut.
Kunjungan Staff :
Team Family First Indonesia telah mengunjungi lokasi project ini.
Terhubung :
Penggalangan dana ini terhubung dengan yayasan (XXXXXX)