Saat ini, selain ada Toxic Relationship, juga ada istilah Toxic Parenting. Toxic parenting mengarah pada perilaku orang tua yang tidak memperlakukan anak mereka dengan baik dan menyebabkan anak merasa bersalah, ketakutan, dan merasa harus berperilaku sangat patuh pada orangtuanya.
Perilaku orang tua yang dapat dikatakan sebagai toxic ketika perilaku berulang dilakukan oleh orang tua, sehingga menimbulkan sebuah pola kebiasaan yang mengakibatkan dampak negatif pada kehidupan anak.
Orang tua yang termasuk kategori toxic parents biasanya melakukan cara apapun termasuk cara yang dapat mencelakakan atau merusak anak demi memenuhi kebutuhan orang tua sendiri. Contohnya melakukan kekerasan seksual, kekerasan emosional, fisik, dan pengabaian pada anak.
Parahnya, orang tua yang berperilaku toxic tidak akan mengakui kesalahan mereka pada anak, dan tidak peduli jika anak mereka akan melakukan perilaku tersebut pada anaknya di kemudian hari. Hal ini tentunya akan menciptakan lingkungan yang tidak sehat untuk tumbuh kembang anak secara psikis dan mental, dan terjadi turun termurun generasi demi generasi.
Bagaimana cara mengetahui sebuah hubungan orangtua dan anak toxic atau tidak?
Mengutip surat kabar Huffington Post, ketika orang tua benar-benar tidak mendukung, atau ketika mereka memanipulasi anak-anak mereka, orang tua dapat menimbulkan kerusakan emosional dan perkembangan yang signifikan, dan pada akhirnya mungkin mengakibatkan meraka 'terasing' atau terpisah dari anak-anak mereka saat beranjak dewasa. Situasi relasi yang tidak baik ini bisa makin meningkat saat anak-anak mereka berumah tangga.
Selain itu ada beberapa perilaku orangtua yang dikategorikan sebagai orangtua yang toxic, antara lain sebagai berikut :
1. Berteriak
Setiap orangtua biasa berteriak, tetapi ketika orang tua terlalu sering melakukannya hingga menimbulkan stres dan trauma kepada anak, dan tidak ditindaklanjuti dengan perilaku untuk 'menenangkan' hati anak kembali, hal itu dapat berdampak besar pada hubungan mereka dengan anak-anak mereka.
Berteriak memang berhasil dalam situasi tertentu, seperti ketika anak Anda melakukan sesuatu yang sangat berbahaya dan Anda perlu menyelamatkan dan mengkoreksi mereka dengan cepat. Tetapi , penelitian menunjukkan kebiasaan berteriak bukan bentuk yang efektif untuk membuat anak-anak mengubah perilaku mereka. Penelitian juga menunjukkan teriakan emosional dapat menurunkan harga diri anak-anak dan pada akhirnya membuat mereka mengembangkan perilaku yang lebih agresif, bahkan bisa sampai melukai bahkan membunuh dirinya sendiri.
2. Membandingkan dengan orang lain (kakak, adik, atau bahkan tetangga), meski dengan dalih untuk memotivasi.
Orang tua, sadar ataupun tidak, sering membandingkan anak-anaknya. Memang tidak salah bila orang tua mengambil contoh perbuatan baik salah satu anaknya, agar saudara kandungnya bisa mencontoh hal baik tersebut, asalkan tidak hanya 1 orang anak yang 'menjadi favorit'.
Tetapi kalau tindakan membandingkan ini terlalu sering dilakukan, bahkan untuk 'mengkoreksi' hal-hal yang 'kecil' sekalipun, justru akan berdampak buruk. Anak menjadi iri dengan saudaranya, dan bisa menimbulkan persaingan antar saudara yang tidak sehat.
Tindakan membanding-bandingkan juga menunjukkan orang tua tidak bisa berempati kepada anak. Setiap anak, meski berada dalam lingkungan keluarga yang sama, tetap punya keunikan dan kekuatan masing-masing. Orang tua tidak memahami kekuatan dan kelebihan anak, dan lebih fokus pada ambisi atau keinginan orang tua sendiri.
Misalnya, anak harus dituntut untuk selalu mendapat nilai sempurna di sekolah karena hal tersebut dapat menimbulkan kesenangan atau kebanggaan pada diri orang tua.
Namun sayangnya, orang tua tidak memikirkan kemampuan si anak, apakah anak akan mampu untuk selalu mendapatkan nilai sempurna, apakah hal tersebut bisa mengganggu kesehatan mental anak.
Orangtua yang kurang empati akan menimbulkan dampak negatif pada anak, seperti anak akan sering mengabaikan kebutuhannya sendiri, menyalahkan diri sendiri atas ketidakpuasan orang tuanya, tidak memiliki pendapat sendiri.
3. Terlalu Mengkritik Anak
Memberikan kritik disertai dengan solusi dan dorongan untuk memperbaiki diri, itu sah-sah saja. Bagaimanapun juga anak perlu dikoreksi agar mengubah pola pikir, sikap, ataupun perilakunya yang salah. Namun jangan sampai semua hal yang dilakukan oleh anak ditanggapi secara negatif oleh orang tua. Perilaku orang tua yang “terlalu mengkritik” akan cenderung menyakiti perasaan anak.
Meski orang tua bermaksud baik atas kritik yang diberikan, namun kritik yang berlebihan dapat menghancurkan kepercayaan diri si anak. Misalnya, orang tua mengkritik penampilan anak saat anak mencoba berpenampilan baru, tidak menghargai pencapaian anak dengan membandingkan pencapaian anak lain, mengkritik saat anak menunjukan bakatnya.
Sifat terlalu mengkritik, apalagi tanpa solusi yang positif, atau dorongan pemberi semangat agar anaknya berubah atau berusaha lebih lagi, dapat menurunnya rasa kepercayaan diri anak karena anak merasa tidak mampu untuk melakukan apapun dengan benar.
4. Terlalu mengontrol anak (helicopter / drone parenting).
Memang orang tua perlu tetap mengawasi anak, tetapi bila mempunyai keinginan untuk selalu mengontrol apapun di kehidupan anak (bahkan termasuk selera berpakaian, cara makan, cara tertawa), termasuk orang-orang yang ada di lingkungan si anak, hal ini bisa menjadi pertanda bahwa orang tua, sadar ataupun tidak, sudah melakukan emotional abuse (kekerasan emosional) dalam kehidupan anak.
Keinginan orangtua untuk melakukan yang terbaik adalah hal baik dan wajar, namun hal ini menjadi bahaya jika orangtua memiliki ketakutan berlebih atas keputusan atau pilihan sang anak dan menganggap anak belum cukup dewasa untuk memutuskan pilihan hidupnya. Contohnya, melarang anak memutuskan jurusan kuliahnya sendiri, melarang anak berteman tanpa alasan yang jelas, mengendalikan keputusan atau pilihan anak akan pasangan hidupnya, bahkan setelah berumah tangga pun tetap ingin mengontrol segala segi kehidupan anaknya.
Ketakutan berlebihan pada orangtua ini dapat memicu over-controlling pada kehidupan anak, anak tidak mempunyai kesempatan untuk memilih keputusannya sendiri.
Hal ini dapat berdampak pada perasaan anak, merasa rendah diri, tidak pernah yakin akan keputusannya sendiri (meski ia sudah mempertimbangkan berbagai pilihan, bahkan sudah berdiskusi dengan teman dekat atau pasangannya), merasa tersinggung dan berpikir bahwa ia tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk memutuskan pilihan hidupnya yang pada akhirnya bisa mencetuskan perilaku agresif dan memberontak kepada orang tuanya.
5. Membuat anak 'harus' selalu berkorban demi kebahagiaan orang tua.
Tidak ada salahnya memang orang tua ingin selalu dekat dengan anak, ingin anaknya memperhatikan orang tuanya meski sudah berumah tangga, tetapi ketika orang tua sudah menuntut suatu hal kepada anak seperti menyuruh anak memilih antara orang tua dengan temannya bahkan pasangannya; atau menyuruh anak sering mengorbankan aktivitas yang mereka sukai demi mengabulkan permintaan orang tua; maka hal ini sudah menjadikan orang tua yang 'beracun' (toxic). Ketika anak 'dituntut; untuk terus mengorbankan apa yang membuat mereka bahagia dan membatasi mereka sebagai individu yang mandiri, dengan alasan 'demi kebahagiaan orang tua' atau demi menjaga relasi yang baik dengan orang tua, sebenarnya orang tua malah membangun hubungan yang tidak sehat dengan anaknya.
Alih-alih anak taat dan ingin membahagiakan orang tua dengan cara mereka sendiri, perilaku orang tua yang beracun ini malah merusak dan menghancurkan hubungan orang tua dan anak. Atau di sisi lain, bisa membuat si anak saat berumah tangga sendiri akan menjadi orang tua yang toxic juga bagi anak-anaknya.
Hormati setiap keputusan anak, beri anak kesempatan untuk mempraktikkan segala nasihat dan arahan dari orang tua yang sudah mereka terima sejak mereka kanak-kanak. Beri anak kesempatan untuk melakukan dan memutuskan apa yang terbaik untuk kebahagiaan dan kesejahteraan mereka. Saat mereka bahagia dan sejahtera, mereka pun dengan sukacita dan suka hati akan melakukan yang baik untuk membahagiakan orang tuanya.
Penutup
Sebagai orangtua pasti menginginkan anaknya untuk mendapatkan yang terbaik dalam hidup mereka. Namun, terkadang melakukan sesuatu yang berlebihan malah akan membatasi anak untuk mendapatkan hal baik dari hidupnya.
Perilaku toxic parenting harus diubah sesegera mungkin, karena pengalaman-pengalaman yang didapat anak saat mendapat perlakuan buruk dari orang tua akan 'tertanam' dalam hati dan pikiran anak, dan anak dapat mewariskan perlakuan buruk itu kepada anak cucunya kelak.
Jika Anda merasa telah melakukan kesalahan dalam mengasuh anak, cobalah untuk mengubah secara bertahap dan konsisten. Pikirkan bahwa anak merupakan seorang individu yang harus dihormati seperti kita menghormati orang lain.
Mari mulai ubah kebiasaan toxic parenting demi memutus rantai pola asuh yang tidak sehat pada anak, agar generasi setelah anak-anak kita tidak lagi mengalami pola asuh yang salah, dan bisa menjadi generasi yang lebih sehat dan lebih baik.
Disarikan dari berbagai sumber