Processing...

Bolehkah Marah kepada Pasangan...?


Diposting oleh | Fri, 12 Jul 2019 14:38:18



Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. (Yakobus 1 : 19 – 20)


Pasangan suami istri tentunya menghendaki pernikahan yang langgeng, apalagi bila pernikahan dilangsungkan atas dasar saling mencintai. Namun ketika merasa kesal, emosi pada pasangan bisa tersulut dan berkembang menjadi kemarahan. Apalagi bila kesalahan yang sama, yang sudah dibahas berkali-kali selalu terjadi tanpa ada upaya perbaikan yang signifikan. Mulai dari soal membuang sampah, menaruh pakaian kotor, tak mau membantu mengurus anak, bangun terlalu siang dan masih banyak lagi...

Namun, apakah aksi marah-marah tersebut dapat mengubah kebiasaan pasangan itu? Mungkin bisa saja, tapi biasanya hanya bersifat sementara. Marah-marah tidak akan memberikan solusi jangka panjang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Malah bisa jadi semakin Anda marah-marah, pasangan akan makin malas dan cenderung menghindari Anda.

Mengapa  marah-marah cenderung tidak akan menyelesaikan masalah:

1. Meskipun Anda marah karena mempermasalahkan ‘hal yang benar’, kemarahan Anda yang sering terjadi justru membuat pasangan semakin jengkel kepada Anda.

2. Aksi marah-marah Anda hanya akan membuat pasangan menjadi lebih membela diri / defensif.

3. Marah-marah cenderung menjadikan Anda seolah-olah berada dalam posisi sebagai orangtua, sedangkan pasangan bagaikan anak yang sedang dimarahi. Tentunya bila ini sering terjadi, tidak sehat untuk kehidupan pernikahan.

4. Saat dimarahi, apalagi dengan nada dan kata-kata yang emosional, membuat pasangan merasa dirinya diserang secara pribadi.

5. Pertengkaran yang didasari meluapnya emosi, biasanya membuat pasangan suami-istri tidak lagi memikirkan kata-kata yang diucapkan. Kata-kata yang menyakitkan dan menyerang pribadi muncul, bahkan tidak jarang topiknya menjadi melebar ke hal-hal lain yang (seringnya) tidak ada lagi hubungannya dengan topik awal yang menyebabkan kemarahan dan pertengkaran. 

5. Marah-marah membuat pasangan merasa harga dirinya dilecehkan.

Kemarahan yang meluap-luap seyogyanya hanyalah sebuah kegiatan yang menguras energi tanpa solusi. Alkitab bahkan mengingatkan kita bahwa kemarahan membuat kita melakukan hal-hal yang tidak benar di hadapan TUHAN. Kemarahan dapat memicu kita melakukan kejahatan (Mazmur 37 : 8), bahkan orang yang mudah marah disebut sebagai orang bodoh (Pengkotbah 7 : 9). Kita harus membuang jauh-jauh kemarahan, meninggalkan kebiasaan untuk marah/emosional (Kolose 3 : 8, Efesus 4 : 31).

Namun bukan berarti kita tidak boleh marah sama sekali. Tak ada yang salah dengan kemarahan bila ditempatkan pada tempat, cara, sasaran dan waktu yang tepat. Kemarahan yang bertujuan mengkoreksi sesuatu yang salah, perlu dilakukan bila teguran baik-baik tidak membawa dampak terjadinya perubahan.  Bila Anda harus melakukan ‘marah yang korektif’, pertimbangkan hal-hal ini:

1. Cobalah untuk tidak langsung menyalahkan pasangan. Berusahalah untuk mengerti mengapa pasangan melakukan (lagi) kesalahan itu.

2. Jangan merendahkan harga diri pasangan. Memarahinya di depan orang lain, apalagi di depan anak-anak, sangat tidak bijaksana. Pasangan tidak merasa dikoreksi untuk kebaikan bersama, tetapi merasa dijatuhkan / direndahkan harga dirinya.

3. Jangan menyerang pasangan. ‘Pakaian dosa’-nya (perilaku, perkataan) lah yang kita tidak sukai, tetapi orangnya harus kita kasihi (Yudas 1 : 23b).

4. Jangan memanipulasi kesalahan pasangan. Seolah kita ‘manfaatkan’ penyesalan pasangan atas kesalahannya, unttuk tujuan pemenuhan keinginan kita. Misal: “enak saja langsung minta maaf.... Kamu belikan saya hadiah yang saya inginkan dulu, baru saya akan pertimbangkan untuk memaafkanmu...”

5. Hindari membuat pasangan merasa dirinya bodoh. Memang benar ada pepatah yang mengatakan “keledai tidak jatuh ke lubang yang sama”, namun dalam kemarahan Anda tidak perlu menambahkan : “kalau kamu sampai melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang, berarti kamu lebih bodoh dari keledai...” Ingat : pasangan suami istri berkomitmen untuk saling menghormati, saling mengasihi, bukan saling merendahkan dan melukai.

6. Jangan langsung cepat menyerah, tersulut emosi, kemudian marah-marah dan ‘mengambil alih’ melakukan  tugas rumah tangga yang seharusnya dilakukan pasangan. Biarkan pasangan menyadari konsekuensi dan  keteledorannya sendiri.


Ketimbang marah-marah, Anda juga bisa mencoba pendekatan yang lebih positif ketika pasangan melakukan hal yang tidak menyenangkan dan menyulut emosi Anda:

1.Lakukan komunikasi, ungkapkan kondisi yang terjadi dan apa yang Anda rasakan dan pikirkan tentang hal itu.

2. Saat mengkomunikasikan, jangan merembet ke masalah yang lain. Fokus pada masalah yang memang membuat Anda emosi saat itu, jangan melebar ke hal-hal yang lain, apalagi sampai ‘menyerang’ / menyalahkan keluarga besar pasangan Anda .

3. Jangan bertele-tele atau berputar-putar,  sehingga Anda terkesan sedang menceramahinya ketika mengajak pasangan diskusi.

4. Hindari memberikan ultimatum atau ancaman. Hindari juga kalimat seperti 'kamu selalu', 'kamu tidak pernah' dan 'kamu seharusnya'. Gunakan kalimat yang lebih positif, menunjukkan bahwa sekalipun kita koreksi perbuatannya namun pada dasarnya kita masih mengasihi dan menghormati pasangan kita. Misalnya 'maukah kamu' atau bisakah kamu'.

5. Berikan contoh perilaku yang benar, untuk menunjukkan kepada pasangan perilaku yang seperti apa yang seharusnya Anda harapkan untuk dia lakukan.

6. Bicarakan dengan pasangan apa solusi terbaik agar permasalahan serupa tidak terjadi lagi.

7. Ketika pasangan sudah menunjukkan perubahan, sekecil apapun perubahan itu, berikan apresiasi.

8. Doakan pasangan, dan berdoa meminta kesabaran dan kekuatan dari TUHAN untuk memberi waktu dan kesempatan kepada pasangan untuk berubah. Perubahan, apalagi suatu kebiasaan bahkan karakter yang sudah menahun, memerlukan waktu dan dorongan yang positif untuk mengubahnya. Kalau bukan Anda yang mendukung pasangan Anda, siapa lagi yang lebih tepat melakukannya.....?


Marah dengan tujuan mengkoreksi dan dilandasi kasih bisa saja dilakukan dalam sebuah pernikahan. Tujuannya bukan semata-mata menciptakan keharmonisan dan mengejar kebahagiaan, namun memang tujuan pernikahan adalah pertumbuhan dan pendewasaan karakter pasangan suami-istri. 


“Dan diatas semuanya itu kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” (Kolose 3 : 14).

Terverifikasi :
Project ini telah melewati proses verifikasi Family First Indonesia.
Kunjungan Lokasi :
Project Creator telah mengunjungi lokasi dan memiliki orang yang dapat dihubungi di lokasi tersebut.
Kunjungan Staff :
Team Family First Indonesia telah mengunjungi lokasi project ini.
Terhubung :
Penggalangan dana ini terhubung dengan yayasan (XXXXXX)